SKB 4 Menteri tentang Percepatan Pembangunan Fisik Gerai Kopdes Merah Putih

22 Oktober 2025
Administrator
Dibaca 495 Kali

Pemerintah telah mengambil langkah strategis dan kolaboratif untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi dari tingkat desa dan kelurahan. Langkah fundamental ini diwujudkan melalui penerbitan sebuah Keputusan Bersama (SKB) yang monumental. SKB 4 Menteri terkait Percepatan Pembangunan Fisik Gerai, Pergudangan, Dan Kelengkapan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih telah resmi ditetapkan untuk menjadi landasan hukum dan operasional bagi salah satu program prioritas nasional. Keputusan ini tidak main-main, karena ditandatangani oleh empat menteri dan dua kepala badan sekaligus, yaitu Menteri Koperasi , Menteri Keuangan , Menteri Dalam Negeri , Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal , Kepala Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara , dan Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara.

Penetapan SKB ini, yang bernomor 1/SKB/M.KOP/2025 dan memiliki berbagai nomor lain dari kementerian/lembaga terkait, menandakan adanya keseriusan dan upaya sinergi lintas sektoral. Tujuan utamanya adalah mempercepat pembangunan infrastruktur fisik yang esensial bagi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Infrastruktur ini mencakup gerai, pergudangan, dan kelengkapan operasional lainnya. Dengan adanya SKB ini, diharapkan segala hambatan birokrasi, pendanaan, dan koordinasi lapangan dapat teratasi, sehingga koperasi-koperasi di seluruh penjuru Indonesia dapat segera beroperasi secara optimal dan memberikan manfaat nyata bagi perekonomian masyarakat di tingkat akar rumput.

Latar Belakang dan Urgensi Percepatan Pembangunan

Setiap kebijakan besar tentu didasari oleh pertimbangan yang matang, begitu pula dengan penerbitan SKB ini. Pada bagian “Menimbang”, dokumen ini menjabarkan urgensi yang melatarbelakangi mengapa percepatan pembangunan fisik untuk Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih menjadi sebuah keharusan. Alasan utamanya bersifat strategis dan menyangkut visi besar negara dalam pemerataan ekonomi dan pencapaian kemandirian bangsa. Ini bukan sekadar proyek pembangunan infrastruktur biasa, melainkan bagian dari agenda nasional yang lebih luas.

Pertama, SKB ini secara eksplisit mengacu pada upaya mewujudkan Asta Cita kedua, yakni mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan berkelanjutan. Selain itu, ini juga sejalan dengan Asta Cita keenam, yaitu pembangunan dari desa untuk pemerataan ekonomi. Dalam konteks ini, peran Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dianggap sangat strategis. Dengan kelembagaan yang telah terbentuk dan tersebar di lebih dari 80.000 lokasi di seluruh Indonesia, koperasi ini diposisikan sebagai ujung tombak untuk menggerakkan ekonomi lokal, terutama di sektor pangan. Optimalisasi peran strategis inilah yang menjadi fondasi utama mengapa SKB ini diterbitkan.

Kedua, keputusan bersama ini merupakan tindak lanjut langsung dari arahan Presiden. Sebagaimana diamanatkan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, langkah selanjutnya setelah pembentukan kelembagaan adalah percepatan pembangunan fisik dan operasionalisasi gerai serta pergudangan. Lebih lanjut, dalam rapat kabinet yang dipimpin langsung oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 15 September 2025, Presiden telah memberikan tugas khusus kepada Ketua Satgas Nasional Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Tugas tersebut adalah mengoordinasikan semua kementerian/lembaga dan para pihak terkait, baik yang terlibat langsung maupun tidak, untuk mensukseskan pembangunan fisik ini.

Ketiga, disadari sepenuhnya bahwa percepatan pembangunan ini tidak dapat dilakukan oleh satu kementerian saja. Diperlukan adanya kolaborasi dan sinergi lintas kementerian/lembaga yang solid, sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. SKB ini secara spesifik menyebutkan para pihak yang terlibat, yaitu Kementerian Koperasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara, serta Badan Pelaksana Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara. Kebutuhan akan sinergi inilah yang kemudian mendasari penetapan sebuah Keputusan Bersama, sebagai payung hukum terpadu untuk bergerak serentak.

Landasan Hukum yang Menjadi Dasar SKB

Untuk memastikan bahwa program percepatan ini memiliki pijakan hukum yang kuat dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, SKB ini mencantumkan serangkaian dasar hukum pada bagian “Mengingat”. Landasan hukum ini mencakup berbagai undang-undang (UU) dan peraturan presiden (Perpres) yang relevan dengan tugas dan fungsi masing-masing kementerian/lembaga yang terlibat. Ini penting untuk memberikan legitimasi dan memastikan setiap tindakan yang diambil memiliki dasar yang sah.

Dasar hukum utama yang menjadi rujukan adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Meskipun undang-undang ini telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja, ia tetap menjadi acuan fundamental dalam pengaturan dan pengembangan koperasi di Indonesia. Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (sebagaimana telah diubah ) juga menjadi dasar, karena mengatur struktur dan fungsi kementerian yang terlibat dalam SKB ini.

Selanjutnya, karena program ini melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai salah satu pelaksana, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (beserta perubahannya ) turut dicantumkan. Untuk memperjelas kewenangan spesifik setiap kementerian, SKB ini juga merujuk pada Peraturan Presiden terbaru tahun 2024 yang mengatur tentang masing-masing kementerian, yaitu Perpres Nomor 149 Tahun 2024 tentang Kementerian Dalam Negeri , Perpres Nomor 158 Tahun 2024 tentang Kementerian Keuangan , Perpres Nomor 171 Tahun 2024 tentang Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal , dan Perpres Nomor 197 Tahun 2024 tentang Kementerian Koperasi. Rangkaian landasan hukum ini membentuk kerangka regulasi yang komprehensif untuk pelaksanaan program.

Peran Sentral Menteri Koperasi dalam Koordinasi

Dalam SKB ini, Menteri Koperasi diberikan peran sentral sebagai koordinator utama. Diktum “KESATU” secara spesifik menguraikan tiga tugas utama yang harus diemban oleh Menteri Koperasi. Peran ini sangat logis mengingat Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih berada di bawah domain pembinaan Kementerian Koperasi. Tugas-tugas ini dirancang untuk memastikan bahwa seluruh proses percepatan pembangunan berjalan lancar, terkoordinasi, dan sesuai dengan kaidah tata kelola yang baik.

Tugas pertama dan utama Menteri Koperasi adalah mengoordinasikan percepatan pembangunan fisik gerai, pergudangan, dan kelengkapan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Ini adalah tugas manajerial yang luas, mencakup pemantauan kemajuan, penyelesaian hambatan, dan sinkronisasi antar-lembaga. Penekanan pada frasa “sesuai dengan tata kelola yang baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan” menunjukkan adanya komitmen kuat untuk menjalankan program ini secara transparan dan akuntabel, menghindari potensi penyimpangan di lapangan.

Tugas kedua adalah peran sebagai penghubung ke sektor korporasi dan investasi. Menteri Koperasi ditugaskan untuk berkoordinasi dengan Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara (BP BUMN) dan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara. Koordinasi ini berkaitan langsung dengan pembangunan dan pengembangan fisik melalui pelaksana yang ditunjuk, yaitu PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero). Ini mengindikasikan bahwa model pembangunan akan melibatkan BUMN sebagai eksekutor, dan Menteri Koperasi bertugas memastikan koordinasi antara kebutuhan program dengan kapasitas pelaksana BUMN.

Tugas ketiga bersifat lebih teknis namun sangat krusial, yaitu menetapkan desain standar gerai dan pergudangan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Langkah standardisasi ini sangat penting untuk beberapa alasan. Pertama, ini akan menciptakan identitas visual (branding) yang seragam dan mudah dikenali di seluruh Indonesia. Kedua, standardisasi memastikan efisiensi dalam pembangunan dan pengadaan. Ketiga, desain standar akan menjamin bahwa setiap gerai dan gudang dibangun dengan spesifikasi minimum yang sesuai dengan kebutuhan operasional koperasi, baik dari segi ukuran, tata letak, maupun kelengkapan fasilitasnya.

Skema Pendanaan: Peran Kunci Menteri Keuangan

Keberhasilan program pembangunan fisik berskala masif ini sangat bergantung pada ketersediaan dan kelancaran skema pendanaan. Diktum “KEDUA” dalam SKB ini mengamanatkan tugas spesifik kepada Menteri Keuangan, yang perannya adalah memastikan aliran dana untuk pembayaran pembangunan ini berjalan sesuai mekanisme yang telah ditetapkan. Menteri Keuangan menjadi penjaga gawang anggaran, memastikan dana yang tepat tersalurkan ke pihak yang tepat.

Secara rinci, SKB ini membagi dua mekanisme penyaluran dana berdasarkan jenis wilayah. Mekanisme pertama adalah untuk Koperasi Kelurahan Merah Putih. Untuk ini, Menteri Keuangan bertugas melakukan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Bagi Hasil (DBH). Dana ini disalurkan untuk pembayaran pembangunan fisik gerai, pergudangan, dan kelengkapannya. Penting untuk dicatat bahwa pembayaran ini didasarkan pada kontrak atau kesepakatan yang telah terjalin antara PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) sebagai pelaksana pembangunan dan Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) sebagai pemilik wilayah kelurahan.

Mekanisme kedua dirancang khusus untuk Koperasi Desa Merah Putih. Untuk unit di desa, sumber pendanaannya berbeda. Menteri Keuangan ditugaskan untuk melakukan penyaluran Dana Desa. Dana Desa ini dialokasikan untuk membayar pembangunan fisik gerai, pergudangan, dan kelengkapan di tingkat desa. Sama seperti di kelurahan, proses pembayaran ini juga harus didasarkan pada kontrak atau kesepakatan formal. Dalam hal ini, kontrak terjalin antara PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) dan Pemerintah Desa.

Dengan adanya penetapan skema ini, SKB memberikan kepastian hukum anggaran. Baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Desa kini memiliki dasar yang jelas untuk mengalokasikan anggarannya (yang bersumber dari DAU/DBH maupun Dana Desa) untuk program ini. Ini juga menetapkan PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) sebagai mitra kontraktual tunggal bagi Pemda dan Pemdes dalam pelaksanaan pembangunan fisik, yang berpotensi menyederhanakan proses dan standarisasi. Peran Menteri Keuangan adalah memastikan kran fiskal untuk kedua mekanisme ini dibuka dan berjalan lancar sesuai progres pembangunan yang dilaporkan.

Fasilitasi Daerah: Peran Strategis Menteri Dalam Negeri

Agar program nasional ini dapat “membumi” dan terlaksana dengan baik di daerah, peran Kementerian Dalam Negeri menjadi sangat vital. Diktum “KETIGA” menjabarkan tugas-tugas Menteri Dalam Negeri, yang pada intinya adalah sebagai jembatan fasilitator antara pemerintah pusat, pemerintah daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota), dan pemerintah desa. Tanpa dukungan aktif dari pemerintah daerah, program ini mustahil berjalan.

Tugas krusial pertama adalah memastikan ketersediaan lahan. Seringkali, isu ketersediaan lahan menjadi hambatan utama program pembangunan. Oleh karena itu, Menteri Dalam Negeri ditugaskan untuk mendorong dan memastikan ketersediaan serta pemanfaatan lahan/tanah dari barang milik daerah (BMD) provinsi, kabupaten/kota, dan/atau aset desa. Lahan ini akan digunakan untuk mendukung pembangunan fisik gerai, pergudangan, dan kelengkapan koperasi. Pelaksanaan pemanfaatan aset ini pun harus dilakukan secara tertib, transparan, dan akuntabel.

Tugas kedua adalah mendorong fasilitasi percepatan dari para kepala daerah dan pemerintah desa. Menteri Dalam Negeri, melalui struktur komandonya, harus memobilisasi Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan Pemerintah Desa agar secara proaktif memfasilitasi proses pembangunan fisik di wilayah masing-masing. Fasilitasi ini bisa berupa percepatan perizinan, penyediaan data, pengamanan lokasi, dan berbagai dukungan non-fiskal lainnya yang memperlancar kerja tim di lapangan.

Tugas ketiga, dan yang paling fundamental dari segi perencanaan daerah, adalah sinkronisasi perencanaan dan penganggaran. Menteri Dalam Negeri harus mengoordinasikan dengan Gubernur dan Bupati/Wali Kota untuk memastikan adanya sinkronisasi dan penyelarasan pencantuman program ini. Program, kegiatan, dan subkegiatan pembangunan fisik Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih ini harus masuk ke dalam dokumen perencanaan pembangunan (seperti RPJMD/RKPD) dan dokumen perencanaan perangkat daerah (Renstra/Renja OPD). Konsekuensinya, pengalokasian anggarannya pun harus jelas, baik yang bersumber dari DAU/DBH yang sudah ditentukan penggunaannya, maupun dari anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) yang bersumber dari dana desa. Ini adalah langkah kunci untuk mengintegrasikan program nasional ke dalam agenda pembangunan daerah.

Pemberdayaan Desa dan Optimalisasi Dana Desa

Jika Menteri Dalam Negeri berfokus pada koordinasi pemerintahan daerah secara umum, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT) memiliki fokus yang lebih spesifik pada ekosistem desa. Diktum “KEEMPAT” menguraikan tiga tugas penting Mendes PDTT yang bertujuan untuk memastikan bahwa program ini tidak hanya membangun fisik, tetapi juga memberdayakan desa secara berkelanjutan, terutama melalui instrumen Dana Desa.

Tugas pertama adalah menyusun dan menetapkan kebijakan penggunaan Dana Desa. Ini adalah payung hukum yang sangat ditunggu-tunggu oleh pemerintah desa. Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah desa mendapatkan legalitas dan panduan yang jelas untuk menggunakan Dana Desa bagi percepatan pembangunan fisik gerai, pergudangan, dan kelengkapan Koperasi Desa Merah Putih. Tanpa kebijakan ini, banyak desa akan ragu-ragu mengalokasikan Dana Desa untuk program tersebut.

Tugas kedua berorientasi pada keberlanjutan dan manfaat ekonomi jangka panjang bagi desa. Mendes PDTT ditugaskan untuk mendorong optimalisasi pendapatan desa pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Mekanismenya adalah melalui imbal jasa paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi Desa Merah Putih. Imbal jasa ini kemudian harus diarahkan kembali untuk pembangunan desa. Ini adalah skema yang brilian, di mana desa (melalui APBDes) tidak hanya menjadi lokasi, tetapi juga menjadi “pemegang saham” yang berhak mendapatkan bagian keuntungan dari koperasi untuk membiayai pembangunan lebih lanjut.

Tugas ketiga adalah mendorong optimalisasi penggunaan aset. Setelah gerai, pergudangan, dan kelengkapan Koperasi Desa Merah Putih diadakan (dibangun) menggunakan Dana Desa, Mendes PDTT harus memastikan aset-aset tersebut dioptimalkan untuk operasionalisasi koperasi. SKB ini juga memperjelas status aset tersebut, yaitu dicatat sebagai aset Desa. Penegasan status ini penting untuk tertib administrasi barang milik desa dan memastikan bahwa investasi yang berasal dari Dana Desa tetap menjadi kekayaan kolektif masyarakat desa.

Penunjukan Pelaksana: Peran BUMN dan Badan Investasi

Setelah mengatur koordinasi, pendanaan, dan fasilitasi daerah, SKB ini juga secara tegas menunjuk siapa pelaksana teknis di lapangan. Diktum “KELIMA” dan “KEENAM” menguraikan peran dua badan penting, yaitu Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN) dan Badan Pelaksana Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, dalam menggerakkan BUMN sebagai eksekutor pembangunan.

Pada diktum “KELIMA”, Kepala Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara (BP BUMN) mendapat tugas spesifik. Tugasnya adalah mengoordinasikan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara. Koordinasi ini bertujuan agar lembaga investasi tersebut, melalui PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero), melaksanakan penugasan percepatan pembangunan fisik gerai, pergudangan, dan kelengkapan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Ini adalah alur penugasan yang jelas dari regulator BUMN.

Pada diktum “KEENAM”, Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara juga mendapat tugas yang jelas. Melalui Holding Operasional-nya , badan ini harus mempersiapkan dan melaksanakan langkah percepatan pembangunan fisik. Langkah ini diwujudkan dalam bentuk penunjukan PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) sebagai koordinator pembangunan fisik. Ini mengukuhkan posisi PT. Agrinas sebagai kontraktor atau koordinator utama program ini secara nasional.

Poin penting dari kedua diktum ini adalah adanya penekanan kuat pada aspek tata kelola. Pelaksanaan tugas ini harus tetap memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) dan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini adalah pagar pengaman untuk memastikan bahwa penugasan besar ini dijalankan secara profesional, efisien, dan bebas dari konflik kepentingan, meskipun dilakukan melalui mekanisme penugasan. PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) kini menjadi penanggung jawab utama konstruksi di hadapan Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah.

Mekanisme Pelaksanaan, Pengawasan, dan Kontrak

Sebagai penutup, SKB ini menjabarkan mekanisme lanjutan untuk memastikan program tidak hanya dimulai, tetapi juga dikawal hingga tuntas. Diktum “KETUJUH” dan “KEDELAPAN” menguraikan kerangka kerja untuk monitoring, evaluasi, dan legalitas kontrak, yang menjadi kunci keberhasilan implementasi di lapangan.

Diktum “KETUJUH” bersifat sebagai arahan umum bagi semua pihak yang terlibat dalam SKB ini. Semua kementerian dan lembaga yang menandatangani SKB ini diwajibkan untuk melakukan pendampingan, sosialisasi, pemantauan, evaluasi, pelaporan, pembinaan, dan pengawasan. Aktivitas ini harus dilakukan secara berkelanjutan terhadap kebijakan program dan kegiatan yang dilaksanakan, baik kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, maupun Desa, sesuai dengan lingkup koordinasi masing-masing. Ini adalah kerangka kerja Monitoring & Evaluation (M&E) yang terintegrasi.

Diktum “KEDELAPAN” mengatur aspek legalitas paling fundamental di tingkat pelaksana, yaitu kontrak. Diktum ini mengamanatkan koordinasi penyusunan kontrak pembangunan fisik. Ada dua jenis kontrak yang diatur. Pertama, kontrak antara Pemerintah Desa dengan PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) untuk pembangunan Koperasi Desa Merah Putih. Kedua, kontrak antara Pemerintah Daerah dengan PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) untuk pembangunan Koperasi Kelurahan Merah Putih. Ini memperjelas siapa pihak yang bersepakat dan siapa yang bertanggung jawab atas pembangunan di setiap lokasi.

Akhirnya, diktum “KESEMBILAN” menyatakan bahwa Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan , yaitu di Jakarta pada tanggal 9 Oktober 2025. Dengan telah ditetapkannya SKB ini, bola kini berada di tangan masing-masing kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemerintah desa untuk mengeksekusi peran mereka masing-masing. Ini adalah langkah kolosal yang jika berhasil, akan secara signifikan mengubah wajah perekonomian desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.